Bantenologi

Laboratorium Bantenologi: Upaya Merangkai Serpihan Sejarah Banten

Sumber: Dewantara
Banten memiliki sejarah yang panjang. Sejak era kesultanan, era kolonial, sampai dengan era kemerdekaan Republik Indonesia 1945-1949. Namun dokomentasi sejarah dan kebudayaan Banten masih sangat minim.

Mendokumentasikan Sejarah dan Budaya Banten

Laboratorium Bantenologi berupaya untuk menggali dan mendokumentasikan Banten dalam rentang waktu masa lalu sampai kepada tradisi budaya yang berlangsung saat ini. Lembaga Bantenologi, awalnya berdiri pada tahun 2000. Kemudian setelah vakum selama 6 tahun, pada tahun 2007 lembaga ini megalami revitalisasi dan berkantor di kampus Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanudin (UIN SMH), Kota Serang. Namanya pun menjadi Laboratorium(Lab.)Bantenologi dan berada di bawah naungan UIN SMH.

Lab. Bantenologi berjalan berangkat dari niat untuk mendokumentasikan segala hal tentang Banten. Kepala Lab. Bantenologi Helmi Faizi Bahrul Ulumi, dalam acara Kursus Sejarah Banten yang digelar oleh Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Sejarah Kabupaten Serang yang MGMP Sejarah Provinsi Banten (19/72018) di Komplek Pusat Pemerintahan Provinsi Banten (KP3B), menjelaskan kegiatan-kegiatan Lab. Bantenologi. “Kegiatan kami berpusat pada empat hal. Pertama riset, meliputi riset individual, riset komunitas, dan riset kerjasama. Kedua dokumentasi, meliputi dokumentasi upacara-upacara adat di Banten, dokumentasi tertulis, maupun dokumentasi melalui media film. Ketiga penerbitan, meliputi buku, Buletin Bantenologi, website, dan Jurnal Kawalu. Keempat perpustakaan, dimana kami memfasilitasi buku, arsip, dan manuskrip.” ujar Helmi.
Helmi Faizi Bahrul Ulumi memberikan materi dalam Kursus Sejarah Banten, Kamis 19 Juli 2018 di KP3B. sumber: A.Muttaqin

Lab. Bantenologi terbuka untuk siapapun. Kepala dan pengurus Lab. Bantenologi siap berdiskusi dengan siapapun yang memiliki karya dan ketertarikan tentang Banten.

Merangkai Serpihan Sejarah Banten

Kondisi minimnya kajian maupun ulasan tentang sejarah dan kebudayaan Banten menjadi persoalan yang sedikit demi sedikit berusaha dikikis oleh berbagai unsur masyarakat Banten yang peduli. Sejak secara administratif berdiri sebagai provinsi – lepas dari Jawa Barat – belum ada upaya serius yang dilakukan dalam rangka memperkaya penulisan sejarah dan penyelamatan warisan sejarah yang berada di wilayah Provinsi Banten.

Hal itu misalnya tercermin dari peristiwa yang masih warga Banten ingat, seperti pembongkaran Gedung Markas Komando Distrik Militer (Kodim) 0602 Serang pada tahun 2005. Gedung tersebut merupakan eks markas Kempetai (Polisi Militer masa penjahan Jepang di Indonesia – red.) sekaligus lokasi pertama pengibaran bendera Merah-Putih di wilayah Karesidenan Banten pada 19 Agustus 1945. Sekarang di lokasi gedung yang seharusnya menjadi cagar budaya tersebut berdiri pusat perbelanjaan Ramayana.

Saat ini masih banyak situs cagar budaya yang terancam tergusur oleh kepentingan ekonomi dari para pengembang yag mengesampingkan nilai sejarah situs tersebut. Hanya wilayah yang memiliki tokoh maupun komunitas yang peduli saja yang masih mampu melawan, seperti terjadi di Kota Depok dimana Komunitas Sejarah Depok yang dimotor J.J.Rizal berusaha mempertahankan situs Rumah Cimanggis yang telah berusia 200 tahun.

Belajar dari peristiwa tersebut dan mengingatkan kita untuk menjaga cagar budaya, Helmi berujar, “Undang-undang ada. Dalam Undang-undang sangsinya jelas. Tapi kenyataannya tumpul.” Saat ini Republik Indonesia (RI) telah memiliki Undang-undang (UU) No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. “Ada juga kondisi-kondisi seperti di Tangerang Selatan, dimana bukan saja situs-situs bersejarah, namun manusianya juga mulai tergerus. Saat ini komunitas ‘Betawi Ora’ di Pamulang juga sudah mulai terpinggirkan arus pembangunan dan desakan masyarakat pendatang.” (AM)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *